Menghadapi anak tantrum di saat anak belum bisa bicara
Updated: Sep 21, 2020
Di masa pandemi, tidak sedikit orang tua yang diperbolehkan atau diharuskan untuk bekerja dari rumah atau sering disebut dengan WFH (Work From Home). Bekerja dari rumah tentu lebih mendekatkan kita dengan keluarga, namun secara bersamaan juga banyak menguak kejadian-kejadian seru. Salah satu yang saya alami kemarin adalah menghadapi anak pertama yang tantrum. Anak pertama saya bernama Ava (nama samaran) baru berusia 23 bulan dan belum bisa berbicara.
Ava akhir-akhir ini sangat “haus” akan perhatian terutama dari mamanya yang notabene adalah istri saya. Ini terjadi karena istri saya harus membagi waktu antara bekerja dan mengurus anak. Ditambah lagi ada anak kedua yang baru bersusia 8 bulan yang tentu membutuhkan perhatian ekstra. Semua ini membuat Ava sangat ingin dekat dan “memiliki” mamanya secara utuh. Ia mengharapkan perhatian penuh mamanya hanya untuk dia seorang diri. Hal ini menyebabkan Ava tidak mau jauh-jauh dari mamanya, bahkan sering kali ia mencari perhatian mamanya dengan memanggil atau menunjukan sesuatu yang ia lakukan.
Saya masih ingat kejadiannya terjadi di siang hari saat istri saya sedang dikejar deadline pekerjaannya. Ava yang sedang duduk di pangkuan istri saya tiba-tiba ingin mengajak istri saya untuk berjalan menuju ke satu sudut ruangan. Istri saya yang sedang sibuk menjelaskan kepada Ava untuk menunggunya menyelesaikan pekerjaannya. Namun Ava tidak mau menerima dan dalam sekejap mulai menangis dan berteriak. Saya yang sedang bekerja di bagian ruangan yang berbeda langsung menghampiri Ava dan menggendongnya. Tangisan dan teriakan Ava semakin keras. Saya membawa Ava masuk ke dalam kamar agar suara tangisannya tidak mengganggu istri saya yang sedang membutuhkan konsentrasi tinggi.

Di dalam kamar Ava menangis keras, berteriak, dan meronta-ronta ingin keluar dari kamar. Dengan lembut saya peluk dan katakan, “Ava, bukan menangis caranya. Kalau menangis, papa tidak mengerti”. Ava tidak menghiraukan saya, ia tetap menangis dan berteriak, kali ini suaranya makin keras tapi belum sampai memecahkan cermin yang ada di dalam kamar. Mendengar suara tangisan semakin keras saya katakan dengan tenang, “ya sudah, Ava selesaikan dulu nangisnya. Selesai nangis baru kasih tahu papa, Ava mau apa”. Ava pun tetap menangis dengan suara yang kencang dan saya peluk dengan lembut sambil mengelus punggungnya. Tidak sampai 2 menit, tangisan Ava berhenti dan tangannya menunjuk ke pintu, memberikan isyarat bahwa ia ingin keluar kamar. Lalu saya bertanya, “Ava mau keluar?”. Dia menganggukan kepalanya. Lalu saya katakan, “mama lagi kerja, kalau Ava mau diluar, Ava tidak boleh menangis ya. Kalau mau menangis di dalam kamar saja”. Ava kembali memberikan isyarat untuk keluar kamar. Melihat Ava yang sudah berhenti menangis, saya akhirnya membuka pintu dan menggendong Ava keluar kamar. Saat menuju ke istri saya, Ava kembali menangis. Saya dengan santai kembali menggendong Ava masuk ke dalam kamar. Saya sampaikan lagi kepada Ava, “kalau mau di luar kamar maka ia tidak boleh menangis, kalau menangis ya di dalam kamar saja”. Ava berhenti menangis dan mengangguk lalu memberikan isyarat untuk keluar kamar. Saya buka pintu kamar dan menurunkan Ava dari gendongan saya. Dengan perlahan Ava berjalan menuju istri saya tanpa menangis dan sesampai di dekat istri saya ia menepuk paha istri saya memberi isyarat bahwa ia mau dipangku. Lalu istri saya memangkunya dan Ava tidak menangis lagi sampai istri saya menyelesaikan pekerjaannya.
Dari sini saya belajar bahwa dalam menghadapi anak tantrum kita membutuhkan kesabaran dan teknik yang tepat. Kesabaran untuk memberikan waktu kepada anak kita dalam meluapkan emosi yang sedang dirasakan, sedangkan teknik yang tepat untuk berkomunikasi dengan anak kita tanpa harus marah-marah. Memiliki kesabaran saja tanpa mengetahui teknik yang tepat akan menjadi “bom waktu” yang menunggu meledak alias kesabaran kita habis. Mengetahui teknik yang tepat tanpa memiliki kesabaran juga tidak akan efektif karena belum sempat kita gunakan tekniknya kita sudah terlanjur marah-marah. Jadi kedua hal ini harus terus dilatih agar bisa seimbang dan saling melengkapi.
Semoga pengalaman saya dapat berguna dan bermanfaat untuk smart parents sekalian dalam menghadapi anak yang tantrum. Salam sukses untuk kita semua…